MERDEKA BELAJAR HEUTAGOGI
Meski tak lagi muda, saya suka terhadap pemimpin yang muda. Meski banyak muda yang ternyata telah tua, tapi muda yang dipilih dengan saringan, saya percaya, mudanya akan menawarkan kemudaan : tenaga, dinamika, semangat dan keberanian. Saya akhirnya mendapatkan Literasi Publik Mendikbud Nadiem.
Saya suka pertahanannya. Dia mengatakan bahwa dalam dunia pendidikan dia mengandaikan diri sebagai murid, tapi jangan buru-buru meremehkan, dia langsung memberi peringatan bahwa dirinya pembelajar yang cepat.
Benar, setelah banyak mendengar, dia langsung mengungkapkan pemahamannya terhadap keluh kesah dunia guru kita, lalu langkah kebijakan : merdeka belajar, penghapusan UN, dan pembaruan zonasi. Juga, serangan lain : tak niscayanya ijazah dan kompetensi dan tak bernilainya hafalan dalam kebutuhan dunia.
Situasinya, kelihatannya sekarang begini, tak tahu nantinya, dunia pendidikan sedang menabuh genderang perang dan bakar-bakar. Korban pertama kebakaran jenggot adalah seorang bangsawan yang menggendong banyak gelar akademik dari universitas ternama yang menjadi ledekan di media sosial. Biarkan, saya tak mau ikut.
Saya cuma sedang merenungi satu isu lontarannya soal merdeka belajar. Di tengah dunia pendidikan literasi online yang menikmati dan telah lupa ketakmerdekaannya, isu merdeka belajar jadi menarik. Ini mengganggu kenyamanan, ha ha ha. Kita pakai sks, tapi sistemnya tak merdeka, sistemnya cetakan, 100 mahasiswa sastra Indonesia menempuh matakuliah yang 90% bahkan mungkin 100% sama.
Apalagi sks di sekolah menengah, murni paketan. Jadi satu dengan yang lain tak beda, fungsi yang sekarang tampak adalah sumbangannya dalam pengaturan waktu tempuh belajar yang tidak selalu normal, tetapi bisa pula dipercepat.
Sks yang merdeka belajar, apa yang ditempuh, bisa dipilih sendiri. Dua orang alumni sastra Indonesia adalah dua sarjana yang isinya beda. Dua orang sarjana teknik sipil dari universitas yang sama adalah dua sarjana yang isi kepalanya beda karena mereka menetapkan menempuh dan mengembangkan diri dengan matakuliah-matakuliah yang berbeda. Begitu hasil studi banding sistem sks ke Amerika yang ditugaskan kepada Harsya Bachtiar sebelum menjadi sistem sks di negeri ini.
Ini yang lain. Di SD rakyat hingga awal tahun 70-an, iklim di luar pelajaran, misalnya soal pakaian dan penampilan, pakaian seragam yang dipakai siswa justru tidak seragam, beragam warna warni bebas. Pakaian seragam saat itu adalah apa yang dimiliki dan ingin dipakai cermin kemerdekaan. Pakaian seragamnya adalah ketidakseragaman. Potongan rambut juga bebas hanya soal kuku dan kebersihannya agar menjadi lentera sehat sering diperiksa.
Hal yang memang tak ada hubungannya dengan cerdasnya otak, halusnya hati dan kuat sehat tangkasnya tubuh ini lalu diatur di era menteri Daoed Joesoef saat itu sehingga SD putih merah, SMP putih biru dan SMA putih abu-abu hingga saat ini. Sejak itu, sekolah rakyat berseragam. Sosialisasi saat itu menjelaskan agar tidak terjadi persaingan penampilan antara si kaya dan si biasa dan miskin.
Saat ini pakaian seragam juga penampilan adalah bagian dari manajemen pengelolaan siswa, dianggap bernilai dan menjadi media penanaman tertib disiplin. Pemahaman bahwa setiap anak unik, berbeda satu dengan yang lain, berhak menunjukkan perbedaan, seakan dihapus. Semua harus seragam. Seragam adalah baik. Tidak seragam adalah buruk. Guru dan murid harus sibuk dengan urusan berseragam pakaian dan penampilan ini, bahkan sering melebihi urusan belajar.
Di sekolah tertentu, bersekolah dengan tidak berseragam dan berpenampilan aneh dan beda menjadi medan perjuangan kemerdekaan siswa dalam penampilan mereka : siswa manasuka diperbolehkan tidak berseragam bila menjadi anak paling pintar, bila kelas memenangkan lomba antarkelas, bila cuma sepatunya dan pada hari tetentu, bila memiliki sambilan menjadi artis, atau lainnya.
Lalu perencanaan mengajar guru. Di berbagai negara, menurut informasi seorang sahabat yang pernah studi banding ke Amerika, Australia, Singapura, Hongkong, Jepang, dan Korea, RPP memang macam-macam. RPP, katanya, ada yang tebal sekali sampai ratusan halaman. Tapi ada yang tipis sekali, bahkan cuma 1 halaman yang berisi secam peta konsep.
Di sini, RPP adalah medan untuk membuat guru mengalami kebodohan selama hidupnya. Komponen RPP diatur peraturan menteri yang isi peraturannya sering berubah. Guru selalu menempuh belajar hal baru, tetapi selalu meninggalkan sebelum memahami atau saat telah memahami dan belum sempat mempraktikkan.
Ataukah memang dibuat seperti itu karena ketidaktahuan adalah peluang keuntungan karena proyek-proyek penganggaran membutuhkan kegiatan pelatihan-pelatihan lentera seo, begitu?
Tapi sudahlah, sekarang isu merdeka belajar yang mungkin masih harus berhadapan dengan situasi mental yang masih harus menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran dan keberanian belajar merdeka.
Kurangnya kepekaan, kurangnya kesadaran literasi informasi, lemahnya inisiatif dan keberanian mengambil keputusan untuk langkah-langkah yang harus diambil untuk tanggung jawab terhadap diri, tugas dan pekerjaan, dan masyarakat, adalah tantangan merdeka belajar.
Belum lagi kemungkinan jatuh bangun akibat salah paham dan salah konsep, belajar merdeka bisa menjadi tidak belajar atau belajar semaunya dan belajar sekadarnya yang penting belajar.
Tapi begini. Pedagogik modern memang telah berkembang yang salah satu pokoknya adalah prinsip pengaturan diri, self regulated. Prinsip ini telah mendorong lahirnya pembelajaran huetagogi baik dalam pedagogi pembelajaran anak-anak yang mengembangkan ketahuan dan kecakapan dalam hal-hal baru di sekolah maupun dalam andragogi pelatihan-pelatihan orang dewasa dalam masyarakat dan dunia perusahaan yang telah membawa pengalaman-pengalaman hidup terhadap hal yang sedang dipelajari.
Dalam konteks itulah, kemandirian belajar menjadi prinsip yang menawarkan proses yang bermakna, merdeka, terarah, memperhatikan pengalaman dan dibutuhkan. Itu adalah merdeka belajar.
Pembelajar tahu yang hendak dipelajari, tahu bagaimana cara mempelajari, tahu cara menggali sumber-sumber yang harus dipelajari, dan tahu bagaimana cara mempelajari sumber-sumber belajar itu untuk hasil belajar yang diinginkan. Representasi ekstrem kemandirian belajar adalah belajarnya sang otodidaktus.
Dengan kondisi kemelimpahan informasi saat ini self regulated, kemandirian belajar, merdeka belajar, atau heutagogi adalah gagasan yang layak ditumbuhkembangkan. Tetapi jangan pukul rata. Kemandirian belajar atau merdeka belajar adalah sebuah level, sebuah wilayah, atau sebuah kategori.
Seorang pendidik selalu tidak mudah memutuskan saat tepat kapan harus mengambil posisi tut wuri handayani. Seorang pendidik tidak mudah pula menetapkan siapa murid yang benar-benar tidak mampu belajar walau sudah banyak dibantu, siapa murid yang mampu belajar bila hanya dengan dibantu, dan murid yang memang telah mampu mandiri belajar walau tanpa dibantu sehingga bisa dengan tepat ditetapkan bentuk layanannya.
Sebab, menetapkan kategori ketidakmampuan belajar problemnya bisa saja terjadi bukan pada muridnya, tetapi pada benar-benar telah maksimal atau belum kuantitas, kualitas, dan efektivitas bantuan guru.